JAKARTA, KOMPAS.TV - Seperti apa tindak lanjut tindakan tegas pemerintah, melarang Aparatur Sipil Negara berafiliasi dengan Ormas terlarang?
Apakah bibit radikalisme telah masuk atau memengaruhi Aparatur Sipil Negara?
Kita bahas bersama Tenaga Ahli Utama Deputi Lima, Kantor Staf Presiden Bidang Polhukam, Rumadi Ahmad dan Direktur The Indonesia Intelligence Institute, Ridlwan Habib.
Pemerintah melarang setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) berhubungan ataupun mendukung organisasi terlarang dan ormas yang telah dicabut status badan hukumnya.
Aturan ini tertuang dalam surat edaran bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Kepala BKN yang diterbitkan 25 Januari 2021.
Ada 6 daftar organsisasi terlarang atau organisasi kemasyarakatan yang dicabut status badan hukumnya, disebutkan dalam surat edaran yaitu,
Partai Komunis Indonesia, Jamaah Islamiyah, Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, Hizbut Tahrir Indonesia, Jamaah Ansharut Daulah atau JAD, dan Front Pembela Islam atau FPI.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Cahyo Kumolo menyebut bahwa ASN dilantik dan diambil sumpahnya untuk setia kepada pemerintahan yang sah, Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.
Sehingga apabila ASN sebagai anggota aktif di organisasi yang dilarang itu, maka dilarang secara prinsip.
Surat edaran ini menjadi tindak lanjut dari surat keputusan bersama tentang larangan dan penghentian kegiatan Front Pembela Islam yang diterbitkan pemerintah 30 desember 2020 lalu.
Aparatur sipil yang terbukti melanggar aturan, terkait organisasi terlarang akan dikenai sanksi ringan hingga berat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai peraturan perundang-undangan.