Salam jelajah,
Kedamaian dan keasrian Seko bukan hanya menarik pengunjung dalam negeri. Ada sepasang warga asing yang tinggal di seko selama bertahun-tahun. Pasangan suami isteri, Thomas dan Chatryn, adalah peneliti bahasa yangmengkhususkan pada bahasa Seko. Sejak tahun 91 mereka telah berada di Seko, yang bahkan menempuh perjalanan 4 hari 3 malam denga berjalan jalan kaki.
Wow..
Menjelajah Seko akan lebih seru bila didampingi kepala daerah Seko. Ya, Tandi Bulan adalah Camat Seko yang kebetulan menggemari motor trail.
Dalam perjalanan bermotor ini tampak hampir tiap rumah telah memasang solar cell atau panel surya, yakni pembangkit listrik bertenaga surya. Ketiadaan listrik rupanya tak menjadi alasan warga Seko tak bisa menikmati tenaga listrik.
Selain panel surya, Seko juga memiliki pembangkit listrik tenaga air dengan mikrohidro dengan memanfaatkan aliran sungai yang ada di Seko.
Sebelumnya warga Seko menggunakan pelita sebagai penerangan, namun sejak tahun 2006 warga mulai bisa menikmati listrik hasil swadaya mereka.
Ketiadaan jaringan sinyal telekomunikasi juga tak menyurutkan warga Seko terutama para aparat pemerintahan untuk berkomunikasi, yaitu melalui gelombang radio. Mereka menggunakan radio dan HT untuk saling berkoordinasi. Meski letaknya terpencil Seko boleh dibilang merupakan kecamatan yang mandiri. Warga Seko pun tak khawatir kekurangan pangan sebab Seko merupakan daerah lumbung padi.
Sawah yang terhampar di Seko ditanami padi secara alami, tidak menggunakan pestisida. Sayangnya karena sulitnya akses darat dari dan menuju Seko, tak banyak beras Tarone yang bisa dinikmati warga di luar Seko.
Untuk mengangkut hasil pertanian seperti beras, warga Seko biasa menggunakan patekke.
Sementara pesawat kecil dengan kapasitas terbatas dan frekuensi penerbangan yang juga terbatas, dimanfaatkan warga sebagai sarana transportasi alternatif dari dan menuju Seko. Ya, di Seko punya bandara perintis dengan pesawat berukuran kecil atau cassa yang bisa mendarat.