TEMPO.CO - Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terhubung, baik politik, ekonomi, hukum, administrasi publik, maupun tingkat kesadaran masyarakat. Bila satu di antara faktor-faktor itu diabaikan dari agenda reformasi, upaya pemberantasan korupsi bisa mengalami gangguan atau guncangan.
Sebagai contoh, andai sektor ekonomi saja yang dijadikan sebagai arena perbaikan tata kelola (good governance) tapi sektor politiknya masih sangat korup, bisa dipastikan perbaikan di sektor ekonomi hanya akan menghasilkan sedikit kemajuan. Sebab, korupsi politik pada dasarnya adalah praktik ekstraksi sumber daya ekonomi melalui mekanisme kebijakan yang korup. Demikian halnya upaya-upaya perbaikan pada sisi ekonomi tidak akan berdampak besar jika administrasi publik sangat lemah, birokrasinya teramat gemuk, dan justru menjadi sumber perburuan renten ekonomi.
Sementara itu, apabila upaya-upaya pemberantasan korupsi hanya bersifat parsial, keluaran yang diharapkan tidak akan pernah terwujud. Kita bisa mengevaluasinya dari apa yang telah dikerjakan pemerintahan Jokowi sejak pertama kali berkuasa. Persoalan pungutan liar yang masih menjadi penyakit birokrasi dan dianggap mengganggu iklim usaha dicoba dibereskan dengan skema penegakan hukum melalui pembentukan tim saber pungli yang strukturnya terbangun dari pusat hingga daerah.
Persoalannya, berbagai kasus pungli yang ditangani penegak hukum, terutama kepolisian, di berbagai daerah tidak akan bisa diselesaikan sepanjang pemerintah tidak membenahi sistem pelayanan publik secara keseluruhan. Yang akan timbul justru komplikasi dari pemberantasan pungli karena yang disasar oleh penegak hukum adalah petty corruption, korupsi kelas teri, sementara secara teoretis, penegakan hukum harus selalu dimulai dari korupsi kelas kakap agar kepercayaan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi semakin meningkat.
Tak mengherankan jika peringkat Ease of Doing Business (EDB) Indonesia pada 2019 tidak sesuai dengan harapan. Presiden Jokowi memberi target peringkat ke-40, tapi pada kenyataannya kita masih menempati peringkat ke-73. Survei EDB dan indeks persepsi korupsi (IPK) memiliki kaitan yang cukup signifikan. Negara-negara yang memiliki peringkat EDB sangat baik juga memiliki skor IPK yang memuaskan.
Dalam perjalanan sejarah pemberantasan korupsi di berbagai negara, kepemimpinan nasional selalu memegang peran teramat penting. Maju-mundurnya pemberantasan korupsi dimulai dari bagaimana sikap pemimpin politik terhadap masalah korupsi. Dalam hal ini, Indonesia kerap menghadapi dilema. Pasalnya, sebagian besar pemimpin nasional kita tersandera oleh kepentingan elite politik dan nasibnya bergantung pada sikap partai politik terhadapnya. Jika terlalu frontal tanpa ada strategi mitigasi, sang pemimpin akan mudah jatuh seperti dalam kasus Gus Dur. Namun, jika terlalu kompromistik, biasanya yang harus dikorbankan adalah kepentingan publik, termasuk agenda pemberantasan korupsi.
Periode pertama dan kedua Jokowi tampaknya berada di situasi yang mirip. Berbagai kebijakan legislasi nasional telah melahirkan kontroversi panjang dan kemarahan publik karena akomodasi berlebihan terhadap kepentingan elite partai.
Revisi Undang-Undang KPK yang digolkan pemerintah merupakan cermin dari masalah ini. Apakah Presiden Jokowi sepenuhnya tersandera sehingga harus mengambil keputusan yang tidak populer itu? Hemat saya, posisi politik Presiden tidak sepenuhnya tersandera, tapi justru mengambil keuntungan dari keputusan yang didukung suara aklamasi partai politik yang menghendaki revisi tersebut.
Kepentingan percepatan perbaikan sektor ekonomi model Presiden Jokowi mengandaikan nir-kegaduhan, nir-penegakan hukum yang keras, dan berfokus pada upaya-upaya pencegahan korupsi yang diasumsikan lebih bernuansa damai, tanpa hiruk-pikuk. Ketenangan ini dimaksudkan untuk membuat para investor tidak panik. Pada saat yang sama, hubungan Jokowi dengan partai politik juga relatif terkendali dan dapat membangun sinergi dukungan dalam program pembangunan ekonomi.
Namun pilihan-pilihan itu adalah bom waktu. Presiden bisa dianggap mengulang kesalahan yang sama dengan rezim Orde Baru lewat cara yang berbeda ketika mekanisme pemerintahan dibuat sedemikian rupa mengakomodasi kepentingan sektor bisnis demi mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi, pada saat yang sama, melahirkan kroniisme, nepotisme, dan korupsi yang menggurita.
Selengkapnya: https://kolom.tempo.co/read/1295260/maju-mundur-pemberantasan-korupsi
Subscribe: https://www.youtube.com/c/tempovideochannel
Official Website: http://www.tempo.co
Official Video Channel on Website: http://video.tempo.co
Facebook: https://www.facebook.com/TempoMedia
Instagram:https://www.instagram.com/tempodotco/
Twitter: https://twitter.com/tempodotco
Google Plus: https://plus.google.com/+TempoVideoChannel