TEMPO.CO - Helmy Yahya menanggapi beredarnya surat penonaktifan dirinya sebagai Direktur Utama TVRI. Dia mengatakan pencopotan dirinya dari kursi Dirut LPP TVRI adalah cacat hukum dan tidak berdasar.
Helmy Yahya mengatakan dasar rencana pemberhentian Dewan Pengawas terhadap dirinya tidak memenuhi salah satu amanat dari PP no 13/2005 pasal 24 ayat 4 yang mengatur syarat diberhentikanya anggota dewan direksi sebelum masa masa jabatannya habis. “Tidak ditemukan satu ayat pun dalam PP itu yang menyatakan istilah penonaktifan atau sejenisnya,” tulisnya dalam surat tanggapan, Kamis, 5 Desember 2019.
Di dalam surat tanggapan itu pula, Helmy, menyatakan masih tetap menjadi Direktur Utama LPP TVRI yang sah periode tahun 2017-2022 bersama lima anggota direksi yang lain. Ia memastikan dirinya bakal tetap melaksanakan tugas sesuai ketentuan yang berlaku. “Saya tetap bekerja seperti biasa,” ucapnya.
Ihwal penunjukkan Plt sementara oleh Dewas, Ia membeberkan bahwa Priyono sudah mengajukan surat penolakan untuk menjadi penganti dirinya. Ia beralasan pihaknya tetap solid pada jajaran direksi dan karyawan di LPP TVRI. “Saya didukung oleh semua direktur, TVRI perlu diselamatkan,” kata dia.
Dewas Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) memberhentikan sementara Helmy Yahya sebagai Direktur Utama Televisi Nasional yang dikelola pemerintah. Keputusan itu berlaku sejak diterbitkannya SK Dewas Nomor 3 tahun 2019 pada rabu lalu. Latar belakang dikeluarakannya surat keputusan itu diduga terkait dengan penyelenggaraan perusahaan Televisi milik negara tersebut.
Salah seorang Anggota Dewas LPP TVRI, Maryuni Kabul Budiono, menuturkan keputusan untuk memberhentikan sementara Helmy Yahya telah berdasar pada pertimbangan yang kuat. “Ada beberapa catatan yang menurut kami sudah bisa dijadikan landasan untuk keluarnya surat pemberhentian itu, menyangkut penyelenggaraan LPP TVRI,” tutur dia, Kamis, 5 Desember 2019.
Ihwal catatan Dewas yang melatarbelakangi terbitnya surat tersebut, Kabul enggan menerangkan lebih rinci. Ia beralasan di dalam Surat Pemberitahuan Rencana Pemberhentian (SPRP) itu sifatnya masih rahasia. Ia mengimbuhkan hanya Helmy Yahya yang mengetahui isi dari pertimbangan Dewas menerbitkan SPRP tersebut. Dengan demikian, tutur Kabul, Direktur utama memiliki hak jawab selama satu bulan sejak SPRP itu diterbitkan. “Jika hak jawab itu sesuai dengan fakta yang ada dan ternyata benar, tentu SPRP itu dipertimbangkan kembali,” jelasnya.
Ia menampik jika dengan SPRP itu pihaknya telah memecat Helmy Yahaya sebagai Direktur Utama LPP TVRI. Ia beralasan justru Dewas memberikan waktu satu bulan bagi yang bersangkutan untuk berkonsentrasi memersiapakan hak jawab atas catatan Dewas ihwal penyelanggaraan LPP TVRI. Di sisi lain, Ia menuturkan, Dewas telah menyerahkan tugas Plt kepada Direktur Teknik LPP TVRI Supriyono agar organisasi bisa lanjut berjalan. “Sementara ini memang tengah menonaktifkan Helmy agar bisa mempersiapkan diri menjawab catatan Dewas,” tutur dia.
Kabul juga mengingatkan agar Helmy Yahya menyampaikan pembelaan dirinya secara tertutup kepada Dewas. Menurut dia, penyampaian kepada publik justru dapat menimbulkan persepsi yang keliru tentang apa yang sesungguhnya terjadi di internal TVRI. Seharusnya, imbuhnya, tanggapan itu diserahkan kepada Dewas karena aturannya seperti itu. “Jika diberikan ke publik, bagaimana kita bisa menjawabnya,” kata dia.
Subscribe: https://www.youtube.com/c/tempovideochannel
Official Website: http://www.tempo.co
Official Video Channel on Website: http://video.tempo.co
Facebook: https://www.facebook.com/TempoMedia
Instagram:https://www.instagram.com/tempodotco/
Twitter: https://twitter.com/tempodotco
Google Plus: https://plus.google.com/+TempoVideoChannel