Pelaksanaan praktik nikah di SMAN 3 Kota Sukabumi terbilang unik. Sebab, praktik pernikahan dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk siswa kelas XII SMA di Kurikulum Merdeka ini menjadi ajang adu gengsi antar siswa.
Di SMAN 3 Kota Sukabumi, setiap kelas berlomba membuat video prosesi akad nikah. Bahkan, beberapa kelas melaksanakan praktik ini layaknya pernikahan sungguhan: ada prewedding, mas kawin, akad nikah, hingga resepsi yang dihadiri kerabat dan sejumlah tamu undangan.
Rangkaian praktik nikah itu didokumentasikan dalam bentuk video sebagai bahan penilaian guru. Praktik nikah dilangsungkan di salah satu rumah siswa yang didekorasi dengan biaya dari uang kas dan urunan. Penghulu, saksi, seserahan, dan buku nikah yang dipinjam dari orang tua, melengkapi praktik nikah.
Salah satu siswa, Felia Azani, mengatakan ujian praktik nikah di kelasnya yang dilaksanakan Oktober lalu, dibuat seperti pernikahan sungguhan. Acara dimulai dari kedatangan keluarga mempelai pria, seserahan, pengalungan bunga melati, pembacaan wahyu ilahi, akad nikah, hingga resepsi.
Felia mengatakan proses praktik nikah tidak didampingi guru mata pelajaran PAI. Pasalnya, kata dia, guru hanya menerima bentuk video proses pernikahan. "Guru cuma terima video," ujar dia.
Siswa kelas lain, Gina Rosa mengatakan, proses praktik nikah kelasnya menghabiskan biaya sekitar Rp 1,3 juta. Ini juga dari hasil urunan siswa di kelas.
Wakil Kepala SMAN 3 Kota Sukabumi Bidang Kesiswaan Mamat Abdul Rahmat mengatakan praktik pernikahan yang menjadi ajang adu gengsi ini merupakan respons apresiasi peserta didik. Padahal pihak sekolah sudah memberikan penjelasan agar ujian praktik nikah tidak berlebihan.
Mamat mengungkapkan pihak sekolah juga sempat kecolongan saat siswa melaksanakan ujian praktik pernikahan bukan pada waktunya.
Meski begitu, Mamat mengapresiasi kreativitas siswa. Namun, dia menyatakan ujian praktik pernikahan tahun ini terlalu berlebihan. Sebab, kata Mamat, dalam praktik nikah tersebut bahkan ada sistem memberi amplop.
"Apresiasinya memang besar dan kadang-kadang berlebihan. Bersaing antara kelas A dengan kelas B. Padahal tidak ada instruksi seperti itu. Anak-anak urunan, ada yang Rp 50 ribu hingga nominal lain," katanya.
Mamat mengakui jika pelaksanaan ujian praktik pernikahan ini luput dari pengawasan pihak sekolah. Segala kebutuhan dan proses ujian diserahkan kepada siswa dan baru dinilai oleh guru mata pelajaran.
"Kreasi anak-anak, tapi enggak jadi tanggung jawab sekolah. Mereka menggunakan uang pribadi. Terus terang saja itu inisiatif masing-masing. Lapor juga enggak, jadi kecolongan. Jangankan saya sebagai wakasek, wali kelas saja kecolongan. Makanya dilarang di luar sekolah atau di luar hari sekolah karena pengawasan tidak ada," kata Mamat.