SEMARANG, KOMPAS.TV - Kawasan Pecinan di Kota Semarang kerap disebut kawasan seribu kelenteng. Orang-orang Tionghoa yang bermukim di Kota Semarang diperkirakan sudah ada pada abad ke-15 masehi.
Karena lokasi Kota Semarang yang dekat dengan laut, dan perairannya yang tenang, membuat Kota Semarang menjadi pusat perdagangan yang pesat kala itu. Tidak sedikit saudagar Tiongkok yang memutuskan untuk menetap di Kota Semarang. Bersamaan dengan itu terjadilah percampuran perkawinan dan kebudayaan. Perkembangan kebudayaan ini turut membuat rumah-rumah ibadah seperti kelenteng berkembang pesat.
Maka jika anda berkunjung di kawasan Pecinan atau Kampung Cina Kota Semarang, maka anda akan menemui beragam kelenteng yang berdiri di setiap pertigaan atau dekat aliran sungai. Pemilihan letak membangun kelenteng pun tak sembarangan, sebab ada perhitungan fengshui yang harus dipatuhi.
Kelenteng yang berdiri di pertigaan tusuk sate dipercaya menghalau sial, sedangkan kelenteng yang berdiri dekat aliran sungai dipercaya mendatangkan banyak rezeki.
"Menghitung pintunya, dibilang pintu seribu kelenteng karena memang sangat banyak, ada kecil-kecil yang bahkan sampai sekarang ketika saya ngumpulin nama-namanya dan detailnya itu masih belum selesai. Ada beberapa yang sudah tidak ada, karena termakan zaman, tapi satu sisi juga tumbuh, terutama sejak Gusdur mengeluarkan peraturan presiden tentang kebebasan beribadah khusus orang-orang Tionghoa," tutur Asrida Ulinuha, pemerhati budaya Tionghoa.
Fungsi kelenteng tak hanya sebagai rumah ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat untuk reuni atau perkumpulan sesama orang Tionghoa yang memiliki garis keturnan atau marga yang sama.
#pecinan #tionghoa #seribukelenteng
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/article/256811/mengenal-kota-seribu-kelenteng-di-kawasan-pecinan-semarang