LUMAJANG, KOMPAS.TV - Penyebab 40 orang meninggal, dan belasan orang lain masih hilang, akibat terdampak guguran awan panas Gunung Semeru, di Lumajang, Jawa Timur, masih jadi perdebatan.
Apa yang terjadi dengan mitigasi yang dilakukan sejumlah pihak yang berwenang, sehingga dampak awan panas dan lava menimbukan bencana.
Padahal, sudah ada penetapan belasan kilometer, di kaki Gunung Semeru, sebagai wilayah zona rawan bencana.
Kepala Pusat Vulkanologi, dan Mitigasi Bencana Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mnieral, Andiani menyatakan peringatan sudah dilakukan berulang kali sejak 1 Desember 2021, yakni tiga hari sebelum bencana terjadi pada 4 Desember 2021.
Namun, pemerintah memaklumi warga yang masih beraktivitas menambang pasir.
Soal guguran lava, menurut warga, adalah hal yang sehari-hari ditemui warga.
Menurut Bupati Lumajang Thoriqul Haq, warga sudah paham, bila guguran lava turun, maka harus segera menghindar dari lokasi bencana.
Tapi tak pernah ada peringatan skala yang meningkat kepada pemerintah daerah dari pihak berwenang soal mitigas bencana di pusat.
Menurut Eko Teguh Paripurno, Ahli Vulkanologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, sikap dan komunikasi kedua pihak tak tepat dalam menanggapi aktivitas Gunung Semeru.
Bencana terjadi karena prosedur mitigasi yang tak dijalankan dengan baik.
Ahli Vulkanologi, dari Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurahman, menilai, saat ini, pemerintah tak bisa lagi saling tuding.
Belajar memperbaiki mitigasi, dan konsisten menjalankan prosedur, apalagi sudah belajar dari aktivitas dan sifat dua gunung api yang besar, Merapi dan Semeru.
Mitigasi di lokasi rawan bencana menyangkut nyawa manusia.
Warga sekitar perlu edukasi, pemerintah wajib menjalankan prosedur yang berlaku.
Komunikasi antar lembaga, wajib diperbaiki, agar penanganan sebelum bencana terjadi yang utama, tak cuma pasca bencana.
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/article/240171/nyawa-manusia-jadi-taruhan-pentingnya-edukasi-mitigasi-di-wilayah-rawan-bencana