KOMPAS.TV - Selebritas Dinar Candy ditetapkan polisi sebagai tersangka dugaan kasus pornografi, setelah memprotes perpanjangan kebijakan PPKM dengan cara berbikini di jalan di kawasan Lebak Bulus Raya, Cilandak, Jakarta Selatan.
Namun usai pemeriksaan pada Jumat dini hari (6/8/2021), polisi tidak menahan dan memperbolehkan Dinar Candy pulang.
Penyidik menilai Dinar Candy kooperatif dan cukup dikenakan wajib lapor.
Dinar Candy yang kerap mengunggah video dan foto yang kontroversial di laman youtubenya, dikenakan sangkaan oleh polisi telah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang Pornografi.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menilai Dinar Candy tidak melanggar Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Merujuk Pasal 36 Undang-Undang Pornografi dinyatakan, "setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 miliar rupiah.
Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati menyebutkan jika aksi protes PPKM Dinar Candy berbikini tidak termasuk ke dalam UU Pornografi sehingga tidak bisa begitu saja diberikan hukuman pidana.
Psikolog Klinis Desi Wulansari menyebutkan jika selama masa PPKM ini tentu saja membuat sebagian orang menjadi tertekan baik secara mental ataupun ekonomi dimana banyak orang yang mata pencahariannya masih sangat bergantung pada kebijakan PPKM sehingga sangat memerlukan pengelolaan diri.
Lantas, apakah faktor kesehatan mental di masa PPKM bisa memicu orang melanggar hukum?
Apakah sangkaan yang dikenakan kepada Dinar Candy telah memenuhi dalil pidana?
Simak pembahasan selengkapnya bersama Ketua Komnas Perempuan, Andi Yentriyani, Peneliti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati dan Psikolog Klinis Desi Wulansari.