KOMPAS.TV - Pandemi covid-19 berdampak pada semua lini kehidupan masyarakat termasuk di sektor migas.
SKK Migas mengumumkan per semester I lifting minyak hanya mencapai 666 ribu barel per hari berarti hanya 94,6 persen dari target yang ditetapkan APBN 2021.
Tak tercapainya target lifting diakui SKK Migas karena dampak dari pandemi covid-19. Lifting minyak yang tak tercapai berdampak pula pada penerimaan negara.
Di semester I penerimaan negara dari migas mencapai 6,67 miliar dollar Amerika Serikat hanya 91,7 persen dari target.
Pandemi yang tak tau kapan berakhir ini pada akhirnya membayangi target lifting minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 miliar kubik per hari di tahun 2030.
Padahal target ini dibutuhkan untuk bisa mengejar konsumsi migas yang diprediksi akan naik. Dewan Energi Nasional meproyeksi di 2050 konsumsi minyak naik 139 persen, sementara konsumsi gas naik 298 persen.
Jika target tak tercapai, maka dikhawatirkan impor migas Indonesia akan makin membengkak.
Mengingat cadangan migas Indonesia ada di poisisi 19 dunia, kebijakan bauran energi pun dilakukan setidaknya untuk bisa mengkonversi kebutuhan migas.
Di 2050 pemakaian minyak ditargetkan berkurang dari 28,8 persen menjadi 19,5 persen.
Sementara energi terbarukan ditingkatkan porsinya dari 13,4 persen menjadi 31,2 persen. Meski secara jumlah energi fosil tetap memakan porsi terbesar di 2050.
Sementara itu untuk terus mengejar target 1 juta barel, dalam rencana strategis SKK Migas ada 4 hal yang akan dikejar mulai dari optimalisasi produksi lapangan eksisting, transformasi sumber daya kontijen ke produksi, mempercepat enhanced oil recovery, dan eksplorasi untuk penemuan besar.
Mengejar target 1 juta barel juga penting untuk neraca dagang Indonesia di saat harga minyak naik.
Kuantitas produksi di hulu akan membuat tambahan pendapatan negara semakin besar, terlebih APBN saat ini masih mengandalkan pendapatan negara bukan pajak.