Persoalan sampah masker dan sarung tangan plastik saat ini telah menjadi permasalahan tersendiri, terlebih penggunaan masker dan sarung tangan meningkat selama pandemi COVID-19.
Sebuah data menyebutkan penduduk dunia memakai 129 miliar masker dan 65 miliar sarung tangan plastik sekali pakai setiap bulannya selama pandemi COVID-19. Bahkan, selama pandemi COVID-19 membuat sampah masker dan sarung tangan menjadi gelombang baru setelah polusi plastik.
Melihat hal ini, UGM berkolaborasi dengan ITB, dan Universitas 11 Maret membuat program berupa sistem pengolahan limbah medis Dumask (Dropbox-Used Mask) untuk meminimalisir dampak ke lingkungan.
Proyek Dumask sudah berjalan dimulai dengan pengumpulan limbah masker dan sarung tangan menggunakan kotak atau boks, serta pembuatan aplikasi untuk memantau dropbox dan alat pembakarnya. Dropbox ini bisa diletakkan di beberapa lokasi dan jika boks sudah penuh sampah akan memberikan notifikasi di aplikasi dan situs web.
Selanjutnya, petugas akan datang dan mengambil boks tersebut dan sampah medis tersebut akan dihancurkan dengan pemanasan bersuhu tinggi atau yang lebih dikenal dengan metode pirolisis. Reaktor pirolisis ini nantinya akan dikembangkan di universitas mitra lainnya. Program ini juga mendapat dukungan dari Universitas Airlangga, Universitas Ahmad Dahlan, Politeknik ATK, Universitas Janabadra, dan Universitas Proklamasi 45 yang kesemuanya tergabung dalam Indonesia Solid Waste Forum (ISWF).
Bahan untuk membuat Dumask terbuat dari kotak karton dan tempat stainles steel. Maka dari itu, kecepatan produksi sangat bergantung kecepatan perusahaan boks dan bengkel. Biaya per boks karton menghabiskan biaya Rp50 ribu. Harga ini tentu akan berbeda jika diproduksi secara massal dan harga akan jauh lebih murah.
Nantinya, satu kotak volume 30 liter mampu menampung sekitar 500 masker atau sarung tangan bekas. Setelah kotaknya, penuh maka akan disegel dan limbah akan dihancurkan dengan teknologi termal yaitu pirolisis dan incinerator.
Dumask Jadi Solusi Atasi Sampah Masker dan Sarung Tangan di Tengah Pandemi