KOMPAS.TV - Keharusan mundur dari All England bak petir di siang bolong bagi kontingen RI.
Menyakitkan, tetapi perlu refleksi diri, sekaligus segera menatap ke depan.
Peraturan kewajiban isolasi selama 10 hari yang ditetapkan pemerintah Inggris mengharuskan tim Indonesia mundur karena satu pesawat dengan penumpang positif corona.
Apa boleh buat, pemain Indonesia yang sudah berlaga ataupun yang belum mesti rela menepi dari lapangan.
Kenyataan pahit ini memicu protes luas, mulai dari Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sebagai Federasi Olahraga Bulu Tangkis di Indonesia, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) hingga komunitas penggemar bulu tangkis di Indonesia.
Fenomena yang wajar karena baru pertama kalinya Indonesia tidak bisa berlaga sebelum menuntaskan laga.
Perkara menjadi berbeda jika semua laga sudah dijalani dan pebulutangkis Indonesia lantas bertemu kenyataan, meraih kemenangan atau mengakui keunggulan lawan, seperti yang selama ini terjadi.
Kesejatian atlet memang seharusnya meladeni tantangan lawan, berjuang sekuat tenaga, kemudian memasrahkan hasilnya kepada fakta dilapangan.
Namun, fakta itu kali ini tak mungkin terwujud karena ada mekanisme terkait kekarantinaan dan itu menjadi keniscayaan karena situasi pandemi.
PBSI melayangkan nota protes kepada Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) terkait konsekuensi ini.
Yang perlu segera dilakukan tak lain antisipasi agar kejadian serupa tak terulang. Perlu segera menatap ke depan.
Ditengah pandemi, yang perlu disiapkan tak hanya teknik, fisik dan mental atlet demi meraih kemenangan, tetapi juga kepastian terkait syarat-syarat protokol kesehatan.
Jika mencermati yang terjadi di All England, antisipasi bisa dilakukan dengan menaiki pesawat carter demi menghindari interaksi dengan penumpang umum, meski ada konsekuensi biaya.
Antisipasi lainnya ialah tiba di negara lokasi kejuaraan dengan menyesuaikan jumlah hari yang dipersyaratkan untuk karantina pencegahan corona.