KOMPASTV - Berkas Kompas bekerjasama dengan Harian Kompas, Kompas.com, dan Kontan mempersembahkan suatu karya jurnalistis bertajuk "Suara Tak Terdengar" terkait tunawisma saat pandemi korona.
Dalam liputan ini, Berkas Kompas mengangkat kisah sejumlah tunawisma yang hidupnya kian terlunta-lunta pada masa pandemi korona. Kami mengangkat kisah Rahmad Rahadian, seorang tunawisma yang tinggal di pinggiran rel area Senen, Jakarta Pusat. Ia tinggal bersama istri dan dua anaknya dalam gubuk beratap terpal yang hanya berjarak dua meter dari rel kereta. Cacat fisik dan telah renta membuatnya tak punya banyak pilihan selain memulung guna mencari nafkah. Ia mengaku khawatir terinfeksi Covid-19 karena sering menemukan sampah masker saat memulung. Namun, Ia sadar tak akan dapat berbuat banyak jika terjangkit Covid-19 karena tak punya asuransi BPJS Kesehatan.
Berkas Kompas juga mengangkat permasalahan klasik tunawisma, yakni identitas dan pendataan. Salah satunya terjadi di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih Surabaya. Dari 1070 tunawisma warga binaan, 90% di antaranya belum memiliki identitas dan dipertanyakan pendataanya dalam Kementerian Sosial. Sementara itu, pihak Liponsos mengungkapkan bahwa pendataan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Surabaya terhenti sejak pandemi korona. Akibatnya, Liponsos mengalami kelebihan kapasitas dan sulit menentukan tindakan bagi para tunawisma.
Lalu, bagaimana negara menjawab permasalahan klasik terkait identitas dan pendataan, hingga perlindungan bagi tunawisma dari Covid-19?
Simak jawabannya dalam Berkas Kompas eps Terlunta Saat Pandemi Korona berikut ini.