KOMPAS.TV - UMP 2021 masih menjadi dilema ketenagakerjaan dan dunia usaha di kala pandemi.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, telah mengeluarkan surat edaran tentang penetapan Upah Minimum 2021 pada masa pandemi covid-19 yang ditujukan kepada para Gubernur.
Poin utamanya, Kemenaker meminta UMP 2021 sama dengan UMP tahun 2020 alias tidak naik dengan alasan agar tidak perlu ada pemutusan hubungan kerja dan kemerosotan ekonomi akibat dampak pandemi.
Meskipun ada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan agar tidak menaikkan ump 2021, 5 provinsi tetap menaikkan upah minimum tahun depan yakni, jawa tengah naik 3,27%, Jawa Timur naik 5,65%, Sulawesi Selatan naik 2%, DKI Jakarta naik 3,27% berlaku bagi perusahaan yang tidak terdampak pandemi, serta Yogyakarta naik 3,54%.
Namun, ada 25 provinsi yang tidak menaikkan UMP dan 4 provinsi lainnya yang belum menetapkan UMP 2021, yaitu Sulawesi Utara, Bengkulu, Gorontalo, dan Maluku Utara.
Sementara, khusus DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan menetapkan kebijakan UMP asimetris dengan mewajibkan perusahaan yang tidak terdampak pandemi untuk menaikkan UMP 2021 sedangkan yang terdampak pandemi UMP tidak naik.
Meskipun berseberangan dengan kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan, keputusan 5 kepala daerah yang menaikkan UMP tahun 2021 di mata pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah dinilai sudah tepat.
Menurut Dewan Pengupahan Nasional, kebijakan kepala daerah menaikkan UMP bisa dimaklumi, apalagi sudah ada dialog antara pengusaha, pekerja dan pemerintah daerah.
Terkait UMP asimetris di DKI Jakarta yang akan diberlakukan kenaikannya untuk perusahaan tidak terdampak pandemi, di mata pengusaha cukup memberatkan. Di masa pandemi, sekitar 90% bisnis di Ibukota sudah babak belur akibat pandemi.
Apakah kebijakan UMP Asimetris di DKI Jakarta mampu menjawab kepentingan pekerja maupun dunia bisnis? Simak dialog selengkapnya bersama Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Diana Dewi, dan Ekonom Senior INDEF, Enny Sri Hartati.