CIANJUR, KOMPAS.TV - Kampung tusuk sate, begitulah orang menamai Kampung Cipicung, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cugenang, Cianjur. Pasalnya, sejak puluhan tahun silam warga di kampung ini menjadi perajin tusuk sate. Setiap harinya, para perajin mulai memotong batang bambu, hingga menjadi beberapa bagian, untuk kemudian diraut menjadi sebuah tusuk sate. Di kampung ini, ada sekitar delapan puluh perajin tusuk sate, yang biasa memenuhi kebutuhan tusuk sate ke luar daerah, seperti Bogor, dan Jakarta.
Sepintas, pembuatan tusuk sate terlihat sederhana, mulai dari proses pemotongan bambu, penjemuran, hingga meraut potongan bambu yang kemudian menjadi beberapa batang tusuk sate. Bahan bakunya pun hanya membutuhkan beberapa batang bambu, yang dibeli perajin, dari pemilik kebun. Setiap harinya, kampung ini mampu memyediakan sekitar seratus ribu batang tusuk sate.
Namun tahun ini, perajin tusuk sate harus menanggung kerugian karena terdampak pandemi Covid-19 yang terjadi. Bagaimana tidak, sejak lima bulan terakhir pesanan tusuk sate dari dari luar daerah terus merosot. Bahkan kondisi pahit harus dialami Soleh, perajin sekaligus pengepul tusuk sate di kampungan ini. Ia mengaku, menjelang hari raya idul adha ini, belum ada satupun pesanan yang masuk, padahal moment Idul Adha setiap tahunnya menjadi keuntungan bagi para perajin, karena pesanan yang biasanya naik berkali-kali lipat.
Dampak pandemi ini juga sangat dirasakan oleh warga sekitar yang menjadi buruh pembuat tusuk sate. Pendapatan mereka terus menurun lantaran pesanan tusuk sate terus merosot. Bahkan dalam sehari saja warga hanya mampu membawa pulang uang lima ribu sampai sepuluh ribu saja.
Kini perajin hanya bisa berharap kondisi kembali normal, sehingga pesanan tusuk saye dari luar daerah kembali berdatangan, mengingat penghasilan warga sekitar sehari-hari memgandalkan keuntungan dari penjualan tusuk sate.