Baca juga: Beda Data Kebakaran Hutan BNPB vs KLHK: Riau Paling Terdampak Sedangkan, menurut data yang dilansir situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya ada pada level Berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut. Data yang sama menunjukkan hingga Senin pukul 15.00 WIB, kualitas udara di Pekanbaru (Riau) dan Pontianak (Kalbar) masuk dalam kategori Tidak Sehat, dengan angka ISPU masing-masing 192 dan 160. Dampak kondisi di level ini umumnya penurunan jarak pandang dan penyebaran luas debu. ISPU pada kategori Tidak Sehat juga terjadi di Kota Jambi, yakni mencapai angka 129. Angka ISPU itu berdasar parameter konsentrasi partikulat PM 10 atau partikel di udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron. PM10 adalah partikel debu dan salah satu polutan yang membahayakan sistem pernapasan jika terhisap langsung ke paru-paru serta mengendap di alveoli. Data BMKG yang dilansir harian berdasar parameter konsentrasi PM10, juga menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru (Riau) pada 16 September 2019, pukul 18.00 WIB, mencapai level Berbahaya atau angka 327 µgram/m3. Tingkat konsentrasi PM10 makin parah pada pukul 21.00 WIB. Di Pontianak, konsentrasi PM10 sempat menyentuh level Berbahaya pada Senin, pukul 16.00 WIB, yakni 383,81 µgram/m3. Angka itu menurun ke level Sangat Tidak Sehat atau 293,73 µgram/m3 pada pukul 18.00 WIB. Kualitas udara di Sampit (Kalbar), yang Berbahaya pada Senin pagi, turun ke level Sangat Tidak Sehat dengan konsentrasi PM10 226,6 µgram/m3, saat pukul 18.00 WIB. Akibat Bencana Asap Bagi Warga Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali mengilustrasikan bencana asap membuat warga di daerahnya selama ini seperti dikurung dalam ruangan tertutup bersama tungku kayu bakar yang menyala. "Bagaimana rasanya? Hidung tersumbat, pusing, mata perih, kan? Nah itu lah yang kami alami setiap hari," kata Made pada Minggu (15/9/2019). Sementara Fitri Yannedi (40) mengaku sudah dua minggu "tersandera" di rumahnya, daerah Pekanbaru. Makanan sehari-harinya tak jauh-jauh dari mie instan karena mayoritas pasar dan rumah makan tutup saat pemiliknya mengungsi. Anak dan istrinya pun mengungsi ke Sorkam, Sumut. Menurut dia, asap sudah mulai muncul di sekitar permukimannya pada akhir Mei lalu. Baca juga: Penanganan Karhutla dan Cerita Warga Saat Kabut Asap Merajalela Dia pun bersama sesama alumni Universitas Riau, serta 40 pengacara, kini menyiapkan gugatan class action, melawan wali kota, gubernur dan presiden. "Riau ini bukan terbakar tapi dibakar. Sudah jadi rahasia umum, perusahaan-perusahaan biadab itu kerjanya bakar hutan," ujar Yannedi. Adapun Winda (34), mengaku setiap hari terpapar asap dan melihat api dari hutan di depan rumahnya, di Palangkaraya, Kalteng. Kata dia, rumahnya diselimuti asap sejak Juni 2019. Bahkan, pada pekan kemarin,