Hampir genap dua bulan masa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2019 bergulir. Riuh rendah pertarungan politik pun terus mengisi ruang publik. Seakan miskin narasi, para elit justru berlomba melontarkan beragam diksi. Dari mulai istilah cebong, kampret, tampang boyolali, genderuwo, “buta-budek”, hingga politik cabai.
Meski menuai kontroversi, nyatanya kehadiran diksi politik justru menjadi perhatian publik. Sejatinya, ajang kontestasi adalah panggung adu argumentasi berbasis ide dan gagasan, bukan justru membangun narasi berlatar emosi.
Lantas, apa fakta di balik lahirnya diksi politik yang dilontarkan para elit? Benarkah hanya sekadar simbolik atau justru bagian dari taktik politik?